Senin, 03 Desember 2012

Penggunaan Footnote Serta Macamnya



a.    Teknik Menggunakan Catatan Kaki

Catatan kaki mempunyai kelebihan dibandingkan dengan catatan tubuh, yaitu:

1).   Catatan kaki mampu menunjukkan sumber referensi dengan lebih lengkap. Dalam cacatan tubuh, yang ditampilkan hanya nama pengarang, tahun terbit buku, serta halaman buku yang dikutip. Dalam catatan kaki, nama pengarang, judul buku, tahun terbit, nama penerbit, dan halaman dapat dicantumkan semua. Hal ini tentu mempermudah penelusuran bagi pembaca.

2).   Selain sebagai penunjukan referensi, catatan kaki dapat berfungsi untuk memberikan catatan penjelas yang diperlukan. Hal ini tentu tidak dapat dilakukan dengan catatan tubuh.

3).   Catatan kaki dapat digunakan untuk merujuk bagian lain dari sebuah tulisan.

Berdasarkan kelebihannya tersebut, catatan kaki bisa berisi:

1).   Penunjukan sumber kutipan (referensi).
2).   Catatan penjelas.
3).   Penunjukan sumber kutipan sekaligus catatan penjelas.
              
Prinsip-prinsip dalam menuliskan catatan kaki:

1)    Catatan kaki dicantumkan di bagian bawah halaman, dipisahkan dengan naskah skripsi oleh sebuah garis. Pemisahan ini akan otomatis dilakukan oleh program Microsoft Word dengan cara mengklik insert, kemudian reference, kemudian footnote.
2)    Nomor cacatan kaki ditulis secara urut pada tiap bab, mulai dari nomor satu. Artinya, cacatan kaki pertama di tiap awal bab menggunakan nomor satu, begitu seterusnya.
3)    Catatan kaki ditulis dengan satu spasi.
4)    Pilihan huruf dalam catatan kaki harus sama dengan pilihan huruf dalam naskah skripsi, hanya ukurannya lebih kecil, yaitu:
ü  Times New Roman (size 10)
ü  Arial (size 9)
ü  Tahoma (size 9)
5)    Baris pertama catatan kaki menjorok ke dalam sebanyak tujuh karakter.
6)    Judul buku dalam catatan kaki ditulis miring (italic).
7)    Nama pengarang dalam catatan kaki ditulis lengkap dan tidak dibalik.
8)    Catatan kaki bisa berisi keterangan tambahan. Pertimbangan utama memberikan keterangan tambahan adalah: jika keterangan tersebut ditempatkan dalam naskah (menyatu dengan naskah) akan merusak alur tulisan atau naskah tersebut. Tidak ada batasan seberapa panjang keterangan tambahan, asalkan proporsional.

Buku dengan satu pengarang
Nama pengarang, judul buku (kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[1]

Buku dengan dua atau tiga pengarang
Nama pengarang 1, nama pengarang 2, nama pengarang 3, judul buku (kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[2]

Buku dengan banyak pengarang
Nama pengarang pertama, et al., judul buku (kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[3]
Perhatikan: hanya nama pengarang pertama yang dicantumkan, nama-nama pengarang lainnya diganti dengan singkatan et al.

Buku yang telah direvisi
Nama pengarang, judul buku (rev.ed.; kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[4]
Perhatikan: singkatan rev.ed. menunjukkan bahwa buku tersebut telah mengalami revisi.

Buku yang terdiri dua jilid atau lebih
Nama pengarang, judul buku (nomor volume/jilid; kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[5]

Buku terjemahan
Nama pengarang asli, judul buku, terj. nama penerjemah (kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[6]
Perhatikan: singkatan terj. menunjukkan bahwa buku tersebut telah diterjemahkan dan penulis mengutip dari terjemahan tersebut.

Kamus
Nama pengarang, judul kamus (kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[7]



Artikel dari sebuah buku antologi
Nama pengarang artikel, ”judul artikel,” judul buku, ed. nama editor (kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit), halaman.[8]
Perhatikan: jika editor satu orang maka menggunakan singkatan ed., namun jika editor dua orang atau lebih menggunakan singkatan eds.

Artikel dari sebuah jurnal/majalah ilmiah
Nama pengarang artikel, ”judul artikel,” nama jurnal/majalah ilmiah, edisi jurnal (bulan terbit, tahun terbit), halaman.[9]

Artikel dari koran/majalah
Nama pengarang artikel, ”judul artikel,” nama media, tanggal terbit, tahun, halaman.[10]

Berita koran/majalah
”Judul berita,” nama media, tanggal terbit, tahun, halaman.[11]

Skripsi/Tesis/Disertasi yang belum diterbitkan
Nama penulis, ”judul skripsi/tesis/disertasi,” (level karya, fakultas dan universitas, nama kota, tahun terbit), halaman.[12]

Makalah seminar yang tidak diterbitkan
Nama penulis, ”judul makalah,” (forum penyampaian makalah, penyelenggara seminar, nama kota, tanggal seminar, tahun).[13]

Dokumen yang tidak diterbitkan
Lembaga yang mengeluarkan dokumen, nama dokumen, (nama kota, tanggal dikeluarkan dokumen, tahun).[14]

Artikel dari internet
Nama penulis, ”judul artikel,” alamat lengkap internet (tanggal akses).[15]
Jika artikel di internet tidak mencantumkan nama penulis, maka langsung mengacu pada judul artikel.[16]

Pernyataan lisan
Nama narasumber, jenis pernyataan (wawancara atau pidato), tanggal pernyataan dilakukan.[17]

Referensi dari sumber kedua
Keterangan lengkap sumber pertama (sesuai dengan aturan catatan kaki), seperti dikutip oleh keterangan lengkap sumber kedua (sesuai aturan catatan kaki).[18]
Perhatikan: frase ”seperti dikutip oleh” menunjukkan bahwa penulis tidak membaca sumber asal (pertama) kutipan, hanya membaca dari orang lain (sumber kedua) yang mengutip sumber pertama.

b.    Beberapa Singkatan Khusus dalam Catatan Kaki

1)    Ibid.
Singkatan ini berasal dari bahasa latin ibidem yang berarti pada tempat yang sama. Singkatan ini digunakan apabila referensi dalam catatan kaki nomor tersebut sama dengan referensi pada nomor sebelumnya (tanpa diselingi catatan kaki lain). Apabila halamannya sama, cukup ditulis Ibid., bila halamannya berbeda, setelah Ibid. dituliskan nomor halamannya.

2)    Op.Cit.
Singkatan ini berasal dari bahasa latin opere citato yang berarti pada karya yang telah dikutip. Singkatan ini digunakan apabila referensi dalam catatan kaki pada nomor tersebut sama dengan referensi yang telah dikutip sebelumnya, namun diselingi catatan kaki lain. Op.Cit. khusus digunakan bagi referensi yang berupa buku.

3)    Loc.Cit.
Singkatan ini berasal dari bahasa latin loco citato yang berarti pada tempat yang telah dikutip. Singkatan ini digunakan sama dengan Op.Cit., yaitu apabila referensi dalam catatan kaki pada nomor tersebut sama dengan referensi yang telah dikutip sebelumnya, namun diselingi catatan kaki lain. Namun, referensi yang diacu Loc.Cit. bukan berupa buku, melainkan artikel, baik itu dari koran, majalah, ensiklopedi, internet, atau lainnya.

Contoh penggunaan:
1 Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, terj. Setio Budi (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 2000), hal. 45.
2 Ibid.
3 Ibid., hal. 55.
4 Dedy N. Hidayat, "Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi," Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia,  No. 2 (Oktober, 1998), hal. 25-26.
5 Ibid., hal. 28.
6  Arthur Asa Berger, Op.Cit., hal. 70.
7 Hubert L. Dreyfus, Paul Rabinow, Beyond Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hal. 72 - 76.
8 Francis Fukuyama, “Benturan Islam dan Modernitas,” Koran Tempo, 22 November, 2001, hal. 45.
9 Robert McChesney, “Rich Media Poor Democracy,” www.thirdworldtraveler.com/Robert_McChesney_page.html (akses 16 Agustus 2006).
10 Arthur Asa Berger, Op.Cit., hal. 96.
11 Ibid., hal. 99.
12 Ibid.
13 Dedy N. Hidayat, Loc.Cit., hal. 22.
14 Francis Fukuyama, Loc.Cit.
15 Hubert L. Dreyfus, Paul Rabinow, Op.Cit., 58.
16 Dedy N. Hidayat, Loc.Cit., hal. 21.

Cara membaca:
        
ü  Catatan kaki nomor (2) menggunakan Ibid., karena sumber kutipannya sama persis dengan nomor (1) baik buku maupun halamannya.
ü  Catatan kaki nomor (3) buku referensinya sama dengan nomor (2), hanya saja beda halamannya.
ü  Catatan kaki nomor (5) referensinya sama dengan nomor (4), hanya saja beda halamannya.
ü  Catatan kaki nomor (6), referensinya sama dengan nomor (1), karena telah diselingi oleh catatan kaki lain, maka menggunakan Op.Cit., serta menuliskan nama pengarang dan halaman.
ü  Catatan kaki nomor (10) referensinya sama dengan nomor (1), karena telah diselingi oleh catatan kaki lain, maka menggunakan Op.Cit.
ü  Catatan kaki nomor (11), referensinya sama dengan catatan kaki sebelumnya, tanpa diselingi catatan kaki lain, yaitu nomor (10), hanya saja beda halamannya.
ü  Catatan kaki nomor (12) referensinya sama persis dengan nomor (11).
ü  Catatan kaki nomor (13) referensinya sama dengan nomor (4), hanya beda halamannya, karena telah diselingi oleh catatan kaki lain dan nomor (4) berbentuk artikel (bukan buku) maka menggunakan Loc.Cit., serta menuliskan halamannya.
ü  Catatan kaki nomor (14) referensinya sama persis, termasuk halamannya, dengan nomor (8), karena telah diselingi oleh catatan kaki lain dan nomor (8) berbentuk artikel (bukan buku) maka menggunakan Loc.Cit.
ü  Catatan kaki nomor (15) referensinya sama dengan nomor (7), hanya beda halaman, karena telah diselingi oleh catatan kaki lain dan nomor (7) berbentuk buku (bukan artikel) maka menggunakan Op.Cit., serta menuliskan halamannya.
ü  Catatan kaki nomor (16) referensinya sama dengan nomor (4), hanya beda halamannya, karena telah diselingi oleh catatan kaki lain dan nomor (4) berbentuk artikel (bukan buku) maka menggunakan Loc.Cit., serta menuliskan halamannya.



[1] David Barrat, Media Sociology (London and New York: Routledge, 1994), hal. 273.
[2] Hubert L. Dreyfus, Paul Rabinow, Beyond Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hal. 72 - 76.
[3] Idi Subandi Ibrahim, et al., Hegemoni Budaya (Yogyakarta: Bentang, 1997), hal. 52 - 54.
[4] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (rev.ed.; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 55.
[5] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societes (Vol.1; Cambridge: Cambridge University Press, 1988), hal. 131.
[6] Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, terj. Setio Budi HH. (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 2000), hal. 44 – 45.
[7] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hal. 595.
[8] Rudi Harisyah Alam, “Perspektif Pasca-Modernisme dalam Kajian Keagamaan,” Kajian Keagamaan dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antardisiplin Ilmu, eds.  Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed., M. Deden Ridwan (Bandung: Penerbit Nuansa dan PUSJARLIT, 1998), hal. 67-77.
[9] Dedy N. Hidayat, "Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi," Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia,  No. 2 (Oktober, 1998), hal. 25-26.
[10] Francis Fukuyama, “Benturan Islam dan Modernitas,” Koran Tempo, 22 November, 2001, hal. 4.
[11] “Islam di AS Jadi Agama Kedua,” Republika, 10 September, 2002, hal. 6.
[12] Muzayin Nazaruddin, “War Against Terrorism: Critical Discourse Analysis,” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004), hal. 205.
[13] Muzayin Nazaruddin, “Dua Tipe Perempuan dalam Film dan Sinetron Mistik Indonesia,” (Makalah disampaikan dalam Temu Ilmiah Nasional, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta, 26 – 28 Juni, 2007).
[14] U.S. Department of Foreign Affairs, Testimony by John. J. Maresca, Vice President International Relations Unocal Corporation to House Committee on International Relations Subcommittee on Asia and The Pacific (Washington D.C., 12 February, 1998).
[15] Robert McChesney, “Rich Media Poor Democracy,” www.thirdworldtraveler.com/Robert_McChesney_page.html (akses 16 Agustus 2006).
[16] “Pengelolaan Bencana: Pengelolaan Kerentanan Masyarakat,” www.walhi.or.id/kampanye/bencana (akses 17 Agustus 2006).
[17] Samijan, wawancara dengan penulis, 11 November 2006.
[18] Karl Marx, Selected Writings in Sociology and Social Philosophy, eds. T.B. Bottomore and Maximilien Rubel (New York: McGraw-Hill, 1964), hal. 78, seperti dikutip oleh Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, terj. Setio Budi HH. (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 2000), hal. 44 – 45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar